Kamis, 29 Oktober 2015



UMA DAN SUKU MENTAWAI
Oleh : Laurensius, SH








Setiap suku bangsa di Indonesia memiliki budaya dan adat istiadat sendiri, tetapi tidak bertentangan dengan nilai-nilai norma Pancasila dan UUD 1945. Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang besar dan kaya bermacam ragam budaya-adat. Masyarakat menciptakan budayanya sesuai dengan kehidupan dan kondisi alam mereka.
Mempelajari Rumah adat Mentawai menjadikan kita sadar bahwa sebagai generasi Mentawai masih banyak yang tidak kita ketahui tentang budaya kita sendiri. Oleh karena itu kita harus mengetahui budaya-adat kita supaya identitas kita sebagai Mentawai tetap dipertahankan dan mampu menerapkan nilai-nilai budaya kepada generasi yang akan datang.

A. Rumah Adat Suku Mentawai (Uma)
Rumah Adat atau biasa disebut Uma bagi Suku Mentawai ibarat sebuah pemerintahan. Kalau tidak ada rumah adat maka kehidupan anggota uma tidak akan teratur. Untuk mengatur kehidupan tersebut rumah adat menjadi wadah terbentuknya semua aturan serta kegiatan yang harus dijalankan oleh suku yang merupakan satu keturunan.
1. Pengertian Uma
Pengertian Uma terbagi dua, yaitu ; pertama, uma untuk sebutan marga, dan kedua, uma yang biasa disebut rumah adat. Uma untuk sebutan marga biasanya digunakan ketika dua orang bertemu yang berbeda marga dan menanyakan “apakah nama uma anda ?” Sedangkan pengertian kedua, uma merupakan sebutan rumah adat yang bentuknya besar dan memanjang. Uma Adalah rumah besar yang dihuni oleh beberapa keluarga yang berasal dari satu keturunan dan berinteraksi sosial satu sama yang lain. Secara fisik uma berbentuk paggung dan ukurannya relatif panjang dan besar dan dindingnya terbuat dari kulit kayu (karai).
Adapun fungsi uma bagi suku Mentawaim adalah, sebagai berikut ;
a. Sebagai tempat tinggal dan perlindungan
b. Sebagai tempat berkumpul dan bermusyawarah
c. Tempat penyelenggaraan pesta adat
d. Tempat mengambil keputusan
e. Tempat melantik Sikereu baru
f. Tempat terbentuknya aturan
g. Tempat terciptanya karya
h. Pusat kehidupan sosial, budaya, pendidikan, kesehatan dan ekonomi.
Bagian-bagian Uma
1. Orat (tangga yang terbuat dari sebatang kayu) berfungsi untuk naik ke Uma
2. Gare, yaitu bagian depan uma yang berfungsi untuk mencuci kaki/tangan, memotong hewan
dan tempat sagu untuk makan babi
3. Patitikat, yaitu ruangan depan tanpa dinding berfungsi untuk membuat tato, meruncing gigi,
memotong hewan (babi)
4. Laibokat sebagai tempat beristirahat, musyawarah dan berceritera atau bersantai
5. Sausau, sebagai pintu utama dalam uma yang terbuat dari kulit kayu dan dijepit oleh batang
nibung yang telah dibelah dan diukir.
6. Abu kerei berfungsi untuk memasak minum dan hasil buruhan, memanaskan gendang
(gajeumak).
7. Lapperat berfungsi sebagai tempat atraksi turuk, pengobatan orang sakit dan tempat orang
meninggal
8. Jairabbak (sayab rumah) berfungsi untuk tempat tidur anggota uma
9. Sabbau sebagai anti ancaman dan untuk penekan atap.
10. Kabitat sebagai lambing uma. Biasanya hanya uma yang ada kabitat.
11. Laplap tobat untuk merapikan atap paling depan rumah
12. Bakkat Katsaila merupakan dasar kepercayaan seluruh anggota uma
13. Batu Kerebau merupakan tempat persembahan seluruh anggota uma
14. Jaraik merupakan lambing keberanian
Macam-macam bahan tonggak uma yang digunakan oleh orang Mentawai dalam membangunan uma
adat;
1. Kayu Ribbu
2. Kayu Attei Porak
3. Uggla
Untuk mendirikan sebuah uma, ada beberapa langkah persiapan (panarengan) yang dilakukan, yaitu :
  1. Melakukan musyawarah untuk menentukan besar kecil uma baru,lokasi, dan waktu pelaksanaannya.
  2. Melakukan persiapan untuk mengumpulkan bahan-bahan makanan selama dalam pelaksanaan pembangunan uma, seperti mencari ikan dan mengolah sagu.
  3. Menasehati serta memberikan pandangan kepada anak-anak dan istri tentang hal-hal yang harus dijaga dalam tindakan selama dalam proses pembangunan uma.
  4. Berpantang diawali dengan pesta.
  5. Mencari bahan-bahan bangunan.
Adapun bahan-bahan bangunan uma yang dipersiapkan adalah :
  1. Uggla (kayu)
  2. Kasou (nibung)
  3. Rotan (Sasa) sebagai pengikat penyambungan
  4. Karai (kulit kayu meranti)
  5. Klasau (bambu)
  6. Tobat (atap yang terbuat dari daun sagu yang dianyam)
  7. Pangakkak (sejenis rotan yang diraut halus untuk menganyam daun sagu menjadi atap)
  8. Baan lelengan (lantai dari pohon nibung tua yang dibelah)
  9. Pelege (sejenis rotan kecil untuk dijadikan pengikat)
  10. Dan kayu-kayu lain yang berkualitas.
Untuk menentukan lokasi pembangunan Uma ada beberapa syarat, yaitu ;
1. Ada sumber air;
2. Tersedia tanah yang datar, rawa, bukit dan hutan sebagai tempat berladang dan berburuh
3. Lokasi tidak rawan banjir
Pantangan-pantangan dalam membangun uma, sebagai berikut :
  1. Tidak boleh berbahasa kotor
  2. Tidak boleh marah
  3. Menjaga hubungan dengan istri (bagi anggota uma yang beristri)
  4. Tidak boleh makan makanan/buah yang asam
  5. Bagi kaum perempuan tidak diperbolehkan membuat api sore hari.
  6. Tidak diperbolehkan setiap hari mandi dengan rambut dibasahkan.
Dalam membangun uma hal-hal yang paling diperhatikan adalah :
  1. Pembangunan bagian serambi tempat musyawarah yang biasa disebut laibokat.
  2. Panitikat yaitu bagian depan uma yang lantainya terbuat dari pohon nibung sebagai tempat pembantaian hewan untuk pesta serta kegiatan membuat tato dan meruncing gigi.
  3. Pintu Uma (sausau) yang terbuat dari kulit kayu (karai) dan sisi-sisinya dijepit pohon nibung yang sudah dibelah dan diukir.
  4. Abu (tempat memasak dan perapian)
  5. Jairabbak, ruangan yang sifatnya terbuka, tetapi dibagi tiga ruangan berbentuk panjang sebagai tempat tidur.
  6. Tempat posisi Jaraik, sikatsaila dan batu kerebau (lambang uma)
  7. Abak Manai, tempat menggantungkan tengkorak hasil buruhan
  8. Tempat tuddukat (kentongan yang terbuat dari kayu pilihan)
  9. Tempat posisi tidur kepala suku
  10. Posisi Sipangunan
  11. dan lain-lain.
Cara memasang atap dalam pembangunan uma baru ada dua, yaitu :
1. Siurep, yaitu dasar klasau dari belakang ke depan, dan;
2. Silailaiakenen, yaitu sipemasang dari kiri ke kanan.
Selain di atas hal-hal yang sangat penting diperhatikan dalam pembangunan uma baru, yaitu cara
mendirikan tonggak uma yang paling depan. Seperti gambar berikut di bawah ini!

Baibai
Sileunia


Kerebau
Siamakenen



Siriutek
Taddakat


Bujuk

Palettegat


Bentuk uma ada dua macam, pertama, bentuk uma yang memakai serambi dan diatapi. Kemudia bentuk kedua, bentuk uma tanpak serambi. Serambi uma yang dimaksud adalah rumah kecil yang dibangun paling depan uma tetapi tetap bersambungan dengan uma induk. Biasanya serambi ini digunakan untuk tempat santai dan musyawarah oleh anggota uma.
Bentuk Uma pertama Bentuk uma ke dua.
Bangunan lain disekitar uma adalah lalep, yaitu bangunan rumah yang lebih kecil dari uma. Bentuknya hampir sama tetapi tidak ada benda-benda atau temapt suci di dalamnya. Lalep ini ditempati oleh keluarga inti (ayah, ibu dan anak-anak mereka). Kemudian rusuk, yaitu bangunan kecil dari pada lalep yang terbuat dari bahan-bahan yang kurang berkualitas (kayu atau bambu). Rusuk ini ditempati oleh para duda atau janda. Selain itu ada Sapou, yaitu bangunan rumah kecil dari pada rusuk yang dibuat di ladang sebagai tempat persiggahan atau tempat istirahat setelah bekerja.
2. Fungsi dan Peran uma bagi suku Mentawai
Dalam kehidupan orang Mentawai khususnya penduduk desa Madobag di Sarereiket, keberadaan Uma sangat penting. Uma mempunyai fungsi penting sebagai wadah terjadinya interaksi sosial, seperti, komunikasi, pendidikan, kebudayaan dan religius. Pendidikan di Uma dilakukan secara lisan dengan berceritera dan praktek langsung. Biasanya memberikan ilmu kepada anak, saudara, atau family disaat melakukan aktivitas, seperti membuat rumah, sampan, berladang, beternak dan lain-lain. Sipendengar tidak langsung mengingatnya. Hal itu disadari juga oleh sipemberi ilmu. Maka sering terjadi berulang-ulang memberitahukan ilmu kepada sipendengar. Setalah sipendengar sudah menguasainya, ia pun menurunkannya kepada anak atau saudaranya yang lain. begitu seterusnya. Itu makanya di Mentawai sulit mencari bukti atau dokumen yang bersifat tulisan, semuanya berada dalam ingatan.
Selain fungsinya, uma juga berperan sebagai wadah kebersamaan, gotong royong serta terbentuknya kebijakan-kebijakan adat yang dilaksanakan oleh seluruh anggota uma tanpak kecuali. Untuk menjalankan fungsi serta peran uma, maka ada pengurus uma (sienungake’ uma), seperti ;
1. Kepala Suku (Sikautet Uma)
Uma dihuni banyak anggota suku satu garis keturunan oleh karena itu perlu ada pemimpinnya untuk mengorganisir anggota-anggota uma, seperti kepala suku (sikeutet uma), Sipangunan/Sikamuri (pelaku pelaksana kegiatan), dan Sipatalaga (penengah dalam kasus). Ketiganya dipilih melalui musyawarah bersama. Untuk menjadi pemimpin suku ada beberapa syarat-syaratnya, seperti berikut :
a. Bijaksana mengambil keputusan atau memberikan sanksi;
b. Memiliki sebuah kemampuan tertentu;
c. Sudah dewasa umur 40 – 50 tahun
d. Tidak sombong dan congkak;
e. Ramah tamah;
f. Mampu memberi contoh yang baik ;
g. Pandai berbicara;
h. Pintar membaca sitasi dan kondisi alam;
i. Pintar membaca kebutuhan uma dan anggota uma itu sendiri.
j. Mengetahi tata cara ritual dan seluk beluk adat istiadat.
Di Mentawai sebutan Kepala suku bermacam-macam. Kalau di daerah Siberut Utara (Sikabaluan) kepala suku disebut Utek Uma. Di daerah Sikakap dan Sipora disebut Rimata. Kalau di daerah Siberut Selatan kepala suku itu biasa disebut “Sikautet Uma” . Sikautet Uma mempunyai fungsi dan tugas sebagai pemimpin pengelolah utama dalam Uma beserta isi dan kekayaan uma serta kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan oleh semua anggota dalam uma tersebut, seperti memimpin upacara adat dan penimbang kebijakan.
Pengertian Sikautet uma dengan Sikebbukat uma memiliki perbedaan. Kalau Sikautet uma adalah seseorang yang dipih melalui musyawarah dan menjadi pemimpin dalam suku. Sedangkan Sikebbukat uma adalah seseorang yang tidak dipilih tetapi dianggap sebagai orang tua dalam uma yang menjadi penasehat uma. Jadi Sikebbukat uma belum tentu seorang pemimpin dalam uma dan yang menjadi pemimpin itu seseorang yang dipilih melalui musyawarah di uma.
2. Pelaksana Kegiatan (Sipangunan)
Dalam pelaksanaan tugas seorang kepala suku, dibantu oleh bawahannya yang disebut “Sipangunan”, yaitu pelaksana program atau aktivitas uma. Sipangunan melaksanakan tugasnya ada dua kategori, pertama, atas inisiatifnya berdasarkan musyawarah bersama, dan kedua, atas perintah kepala suku. Sipangunan akan menggerakkan semua anggota uma dalam kegiatan, seperti membuka lahan perladangan, beternak, membangunan rumah, membuat sampan, berpantang, pesta adat dan lain sebagainya.
3. Penengah (Sipatalaga)
Sipatalaga merupakan penengah dalam mengambil suatu keputusan, terutama dalam bentuk sanksi yang diberikan kepada seseorang yang melanggar aturan adat. Sipatalaga melakukan tugasnya kalau ada persoalan adat, seperti peminangan, pencurian, penganiayaan, pelecehan dan lain-lain.


B. Ideologi Uma
Dalam hal ini sangat perlu diketahui apa pengertian ideologi itu. Menurut Kamus Bahasa Indonesia, ideologi adalah kumpulan konsep bersistem yang dijadikan asas pendapat (kejadian) yang memberikan arah dan tujuan untuk kelangsungan hidup.
Di dunia banyak ideologi yang dimiliki oleh Negara yang akhirnya menjadi pandangan hidup rakyat. Salah satu contohnya adalah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang memiliki ideology Pancasila. Akhirnya Pancasila secara otomatis menjadi sumber dari segala sumber hukum dan pandangan hidup bangsa Indonesia.
Berdasarkan pengertian di atas akan disimpulkan bahwa ideologi itu merupakan dasar pokok dalam berbangsa dan bernegara.
Pada orang Mentawai terutama di uma memiliki sebuah ideologi yang menjadi pandangan hidup dan secara otomatis menjelma menjadi aqidah untuk mengatur segala bentuk aktivitas orang Mentawai. Adapun Ideologi bagi suku Mentawai di Sarereiket yang dikenal dengan Umaisme. Ideologi ini memiliki 5 (lima) unsur penting yang kemudian disingkat menjadi dua suku kata dalam bahasa Mentawai, yaitu “Kek Mukera” yang artinya “kalau dilarang.” Namun bahasa ini diangkat dari bahasa Sarereiket (Madobag) di Siberut Selatan. Karena kajian dari pada munculnya ideologi ini kebetulan di daerah Sarereiket tepatnya di Desa Madobag kecamatan Siberut Selatan. Namun di Mentawai banyak sekali bahasa yang berbeda sehingga bisa saja di daerah lain di Mentawai tidak menerima singkatan dari pada enam unsur ideologi tersebut di atas. Namun keenam poin unsure tersebut merupakan ideologi keseluruhan suku Mentawai yang merupakan terapan dalam kehidupan sehari-hari dan menjadi aturan (aqidah) dan kemudian dijabarkan menjadi aturan (keikei/keikeijet). Adapun keenam unsur ideologi orang Mentawai yang menjadi aqidah itu sebagai berikut :
1. Kepercayaan
2. Keadilan
3. Musyawarah
4. Kesimbangan
5. Rahasia
Kiranya unsur yang menjadi aqidah ini berjalan begitu saja yang sifatnya inisiatif oleh orang Mentawai. Keenam unsur tersebut tidak dijabarkan melalui tulisan melainkan dengan cara lisan yang diturunkan kepada anak cucu atau kerabat dekat. Kalau diuraikan keenam unsur tersebut akan menjadi sebuah aqidah yang mengatur pola dan tatanan kehidupan orang Mentawai secara menyeluruh. Oleh karena itu secara garis besar penjabaran umaisme sebagai berikut ;
1. Kepercayaan
Mengenai kepercayaan orang Mentawai telah memilikinya yang dikenal dengan “Arat Sabulungan.” Kepercayaan ini bersifat animisme dimana semua benda memiliki roh, seperti ; Sungai, laut gunung/bukit, hutan, binatang, benda, kayu dan lain-lain. Seperti penilitian para antropologi, bahwa pengertian dari pada Arat Sabulungan adalah adat yang memiliki unsur alam. Artinya orang Mentawai percaya kepada alam bahwa alam itu memiliki kehidupan bagi umat manusia dan diciptakan oleh Tuhan (Ulaumanua).
3. Keadilan
Setiap tindakan harus adil. Menyelesaikan masalah tidak memihak pada siapapun, yang bersalah tetap bersalah, dan yang benar tetap benar. Kemudian membagi sesuatu dengan merata atau adil tanpa memandang tua atau muda.
4. Musyawarah



B. Uma sebagai Lambang Identitas dan kekuatan Suku Mentawai

Sejak dulu kala nenek moyang orang Mentawai membuat rumah dari bahan-bahan kayu, dan kulit kayu (karai) yang digunakan sebagai dinding serta atapnya rumbia (tobat). Uma dibuat berbentuk panggung, besar dan memanjang. Dalam membuat rumah (uma) orang Mentawai tidak memakai bahan-bahan besi seperti paku, baut dan lain-lain.
Dalam membangun sebuah rumah, nenek moyang orang Mentawai seperti yang disampaikan di atas melakukan pantangan, yaitu menjaga diri mereka supaya tidak tercemar selama dalam kegiatan. Sebelum mendirikan sebuah Uma anggota uma akan melakukan musyawarah untuk memutuskan pelaksanaan kegiatan yang dipimpin oleh kepala suku. Setelah itu anggota uma akan mendapatkan tugas masing-masing dalam mencari bahan uma yang dipimpin oleh Sipangunan yang merupakan pelaksana kerja. Bahan-bahan yang diambil dari kayu pilihan yang sifatnya tidak cepat lapuk atau busuk. Semua pekerja berpantang untuk menjaga keseimbangan dengan alam dimana mereka bekerja agar tidak terjadi sesuatu hal yang tidak diinginkan. Masing-masing kepala keluarga di Uma juga akan menyiapkan babi untuk konsumsi pesta setelah umah siap dibangun.
Anggota uma yang mampu melakukan kerja sama akan menghasilkan bentuk uma yang baik dan kuat. Sehingga uma lain atau orang diluar suku kagum melihat uma yang berdiri kokoh. Rumah yang bagus dan kuat melambangkan kekuatan suku di Sarereiket. Hal ini, semakin kualitas pembangunan uma itu baik, semakin banyak juga hewan piaraan disembelih (kekayaan uma). Setelah uma selesai dibangun, diadakan kembali musyawarah untuk menentukan kapan dilaksanakan pesta uma. Semua keputusan diambil secara bersama yang difasilitasi oleh kepala suku. Kepemimpinan kepala suku tidak bersifat otoriter, melainkan sebagai fasilitator dalam mengambil suatu kebijakan secara bersama dengan anggota uma.
Uma yang baru selesai dibangun akan dipestakan. Fungsi dari pada pesta (punen Uma) adalah sebagai unkapan rasa syukur, kegembiraan dan keselamatan serta kesejahteraan seluruh anggota uma. Adapun nilai-nilai yang terkandung dalam pesta uma (punen uma) adalah kebersamaan, gotong royong dan keadilan. Kemudian setelah pesta uma selesai perlahan-lahan di isi alat-alat yang berhubungan dengan uma, seperti gendang yang terbuat dari kulit ular dan wadahnya terbuat dari batang enau. Kemudian gendang yang dibuat dari kayu, gong, panah, tombak, tameng, lambang uma (jaraik) serta tengkorak-tengkorak binatang hasil buruan. Kemudian uma juga dipasang semacam penangkal penyakit dan musibah. Selain rumah adat yang dibangun juga dibuat rumah-rumah kecil di dalam wilayah rumah adat. Rumah-rumah kecil ini disebut “sapou’ yang ditempati oleh satu kepala keluarga, tetapi tetap merupakan anggota uma (rumah adat). Setiap ada kegiatan yang sifatnya umum, mereka akan berkumpul bersama di uma. Itulah yang disebut system pemerintahan di uma.
Sekarang uma tidak sekuat dulu. Banyak uma di Sarereiket tetapi cara pembuatannya mulai berubah-ubah. Uma dianggap identitas suku Mentawai karena tingkat seni pembuatannya memiliki nilai yang unik yang berbeda dengan suku-suku bangsa lain. Itulah kekayaan bangsa Indonesia yang memiliki keberagaman budaya, bahasa dan adat-istiadat yang dijadikan sebagai kekuatan bangsa.
C. Ekonomi dalam Uma
Dahulu kala pada zaman nenek moyang orang Mentawai perekonomian mereka bersifat tradisional. Mereka membuka lahan dan menanam sagu, pisang, keladi, durian kemudian hasilnya dijual atau dibarter kepada pedagang yang tinggal di ibu kota kecamatan. Benda-benda yang biasa dibarter dari hasil barter adalah, seperti parang, kampak, periuk, koali, korek api dan lain sebagainya. Mereka juga tidak lupa membarter bahan-bahan keperluan lain, seperti garam, ajinomoto, minyak tanah dan lain-lain. Selain di atas mereka juga memanfaatkan hasil-hasil hutan untuk dijadikan perekonomian uma, seperti rotan, manau, madu, dan damar. Interaksi perekonomian terjadi antar uma satu dengan uma lain, serta dengan para pedagang yang datang dari tepi.
Pada Tahun 1970 secara keseluruhan orang Mentawai belum begitu mengenal banyak dunia luar sehingga peningkatan dalam perekonomian mereka sulit berkembang. Hal ini disebabkan karena orang luar sulit masuk ke daerah Mentawai karena akses transportasi belum memadai dan begitu juga sebaliknya orang Mentawai sulit untuk keluar. Namun pada perkembangannya tahun 1999 Mentawai menjadi sebuah pemerintahan otonomi daerah sebagai awal untuk memulai pembangunan di masyarakat, baik pembangunan yang bersifat fisik maupun non fisik. Sekarang Masyarakat Mentawai termasuk uma juga mulai menikmati pembangunan yang diberikan oleh pemerintahannya sendiri melalui program-program pemberdayaan dibidang pertanian, perkebunan, pendidikan, kesehatan dan lain sebagainya.
Selanjutnya masing-masing uma juga mulai bersatu untuk meningkatkan sumber daya manusia melalui pendidikan anak-anak mereka dan peningkatan perekonomian dibidang pertanian, coklat, rotan, kelapa, cengkeh, nilam dan lain sebagainya yang bisa dijadikan hasil untuk pemenuhan kehidupan mereka. 
D. Nilai-Nilai Uma bagi suku Mentawai
1. Nilai Pendidikan
Seperti yang telah disampaikan di atas bahwa uma merupakan tempat berinteraksi semua anggota uma, sehingga menjadi sebuah wadah pendidikan bagi generasi yang ada di dalam uma itu sendiri. Nilai-nilai uma sebagai dasar dalam proses menjalankan hidup bagi anggota uma tanpa terkecuali. Setiap orang tua akan memberikan didikan di uma dengan cara menasehati dan menunjukkan suatu objek pekerjaan yang langsung dipraktekkan agar sipenerima tidak cepat lupa apa yang telah dijelaskan oleh orang tua.
2. Nilai sosial
Sebagai tempat berinteraksi semua anggota uma, kehidupan di uma selalu memiliki sosial yang tinggi. Apa bila seseorang atau salah seorang anggota uma sakit, sebagian akan berusaha mencari Sikere (ahli obat tradisional) untuk mengobati yang sakit. Kemudian akan mengambil seekor babi dan ayam sebagai syarat ritual pengobatan bagi Sikerei. Selain itu, ketika seseorang pergi berburuh dan mendapatkan hasil buruhan, secara bersama-sama menikmatinya. Apabila salah satu anggota uma kebetulan tidak ada saat itu, akan disisikan jatahnya (otcai) sampai anggota uma tersebut pulang. Sanksi pelanggaran terhadap nilai sosial menurut kepercayaan di Uma adalah jatuh sakit karena roh-roh nenek moyang yang tidak senang terhadap orang yang tidak peduli sesamanya.
3. Nilai Persatuan
Tidak kalah pentingnya adalah bahwa uma juga merupakan wadah persatuan seluruh anggota uma di dalamnya. Persatuan dan kesatuan dalam uma sangat dijunjung tinggi setiap kegiatan atau aktivitas yang dilaksanakan. Berdasarkan persatuan akan muncul rasa kebersamaan dan kegotong royongan dalam segala pekerjaan uma. Mengambil suatu keputusan harus besama agar keputusan tersebut sesuai dengan kehendak bersama, sehingga dalam menjalankannya tidak mendapatkan masalah diantara anggota uma dan pemimpinnya.


4. Nilai Religi
Setiap uma di Mentawai memiliki sistem yang berbeda-beda dalam menjalankan aktivitasnya. Tetapi kalau di Siberut Selatan terutama daerah Sarereiket hampir sama caranya dalam melakukan upacara atau ritual di dalam uma. Uma sangat sacral bagi orang Mentawai karena setiap kegiatan baik pekerjaan maupun acara kepercayaan selalu dilaksanakan di uma. Anggota uma sangat taat pada kepercayaan yang dianut, yaitu “Arat Sabulungan”yang berarti kepercayaan terhadap dedaunan yang bisa menyembuhkan manusia dari penyakit yang dideritanya. Kepercayaan Arat Sabulungan identik dengan hubungan manusia dengan alam. Setiap manusia harus mampu menjaga alam. Keseimbangan alam dengan manusia sangat penting dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga setiap anggota uma memiliki inisiatif untuk melindungi alam. Salah satu contoh inisiatif yang dimiliki oleh anggota uma adalah menanam pohon baru dipinggir sungai agar tidak terjadi erosi ketika banjir. Inisiatif dalam perlindungan alam yang dimiliki dulu mulai hilang pada generasi sekarang ini. Apalagi sekarang Mentawai rawan bencana alam, oleh karena itu setiap orang dituntut lebih memperhatikan lingkungan alam yang ada disekitarnya. Itulah dasar kepercayaan di uma yang dijadikan pengarah kehidupan di Mentawai.
E. Sikap Positif generasi Mentawai terhadap budaya dalam uma
Uma sebagai tempat terciptanya bermacam bentuk hasil karya dan memiliki nilai fungsi dalam kehidupan di uma. Setiap hasil karya memiliki fungsi dan arti tersendiri sehingga Mentawai kaya dengan karya-karya di uma. Menciptakan hasil karya secara otomatis tercipta aturan yang berhubungan dengan hasil karya itu sendiri. Salah satu contohnya adalah Tuddukat , yaitu gendang yang terbuat dari kayu, dilobangi dengan jumlah empat buah dan masing-masing berbeda ukurannya. Fungsi dari pada benda tersebut adalah sebagai alat komunikasi untuk memberikan tanda kalau uma mendapat hasil buruan dan memberikan tanda kepada sanak-famili untuk kumpul. Selain itu juga berfungsi memberikan tanda ada orang yang meninggal. Cara memberikan tanda mempunyai aturan tersendiri, yaitu dengan cara memukul benda tersebut dengan aturan-aturan nada yang sudah biasa didengar oleh orang lain dan anggota uma itu sendiri. Sebagai generasi muda Mentawai harus memiliki sikap dan pandangan positif terhadap budayanya sendiri dengan cara menghormati, melindungi dan mempelajarinya agar budaya tersebut agar tidak hilang begitu saja. Nilai budaya memberikan ciri khusus bagi orang Mentawai sebagai identitas kepribadian orang Mentawai. Generasi muda Mentawai tidak perlu merasa minder dan membohongi dirinya sebagai orang Mentawai karena orang Mentawai kaya dengan alam dan budaya yang dimilikinya sangat unik dari budaya-budaya bangsa lain. Dalam era-globalisasi sekarang ini pengaruh budaya asing sangat kuat. Mentalitas orang Mentawai juga harus kuat supaya tidak terpengaruh dengan budaya-budaya lain. Namun dalam hal ini bukannya tidak boleh memakai budaya lain tetapi sebelummnya perlu dilihat dan dinilai apakah budaya asing itu sesuai dengan budaya orang Mentawai. Memakai budaya orang lain juga perlu hati-hati agar tidak terjadi penyalahgunaan budaya yang mengakibatkan pemilik budaya tidak senang. Menjunjung nilai budaya sendiri merupakan penghargaan terhadap hasil karya bangsa dan Negara dalam mempertahankan kekayaan bangsa. Orang Mentawai harus lebih giat lagi menciptakan karya-karya terutama generasi muda yang sekarang ini mulai memiliki pendidikan tinggi. Contoh menghargai budaya sendiri itu adalah mempelajarinya dan sekaligus mempraktekkannya dalam pendidikan sehingga budaya Mentawai mampu menjadi sebuah pendidikan dalam ilmu kependidikan. 

  1. Keadaan Umum
Pada tahun 1970, kepulauan Mentawai termasuk ke dalam pemerintahan Padang Pariaman. Semua pemerintahan desa di Mentawai termasuk desa Madobag, di bawah pimpinan Padang Pariaman saat itu. Tetapi ketika masa reformasi (perubahan) lahir pada tahun 1999, lahirlah kebijakan Pemerintah untuk meng-otonomi-kan Kepulauan Mentawai menjadi sebuah kabupaten baru yang berdasarkan pada UU No. 49 Tahun 1999. Hal ini dilandasi berkat perjuangan generasi Mentawai ke Jakarta untuk memohon kepada Pemerintah supaya Kepulauan Mentawai menjadi sebuah daerah kabupaten otonomi. Akhirnya Desa Madobag termasuk ke dalam wilayah Kecamatan Siberut Selatan Kabupaten Kepulauan Mentawai.
Untuk menuju daerah tersebut dilakukan dengan melalui jalur transportasi sungai dan memakai sampan atau spit boat. Posisi Desa Madobag berada di hulu sungai Kecamatan siberut selatan dengan jarak tempuh 4 – 5 jam. Posisi yang tidak strategis daerah tersebut kurang dikunjungi banyak orang. Selain itu juga jalur transportasi darat masih tertutup sehingga sulit terjadi interaksi dengan daerah lain terutama kecamatan.
Keterpencilan desa Madobag tidak mengendurkan semangat masyarakat dan generasinya untuk bangkit memajukan daerahnya, salah satu cara adalah melalui wadah pendidikan. Masyarakat yang dulu tidak mengenal pendidikan, sekarang ingin menampilkan motivasi mereka lewat anak-anak mereka agar mendapat pendidikan yang layak seperti di daerah lain.
Di hadapan daerah lain, desa Madobag hanyalah daerah yang tidak maju dan tidak mempunyai kehidupan ekonomi yang jelas yang layak dikelolah atau dibangun. Setiap orang yang tinggal di hulu Sungai dianggap tidak maju atau identik kolot.
Pada masa Orde baru desa Madobag telah menjadi sebuah pemerintahan desa pada tahun 1972, dan pada saat itu kepulauan Mentawai masih dibawah pemerintahan Padang Pariaman. Segala urusan pemerintahan desa dilakukan di Padang Pariaman, baik itu mengurus KTP maupun BANDES untuk pembangunan desa. Masyarakat tidak mengetahui apa yang diperbuat oleh pemerintahan desa, karena ada kekuatiran-kekuatiran tersendiri yang timbul dari masyarakat sehingga mereka tidak terlalu ikut campur dalam control pemerintahan. Justru pada saat itu masyarakat lebih patuh terhadap perintah kepala desa, seperti kegiatan gotong royong yang dilaksanakan desa, maka pihak polisi atau TNI dilibatkan dalam kegiatan tersebut untuk mengantisipasi adanya masyarakat pembangkang. Kepemimpinan Kepala desa hampir sama dengan system kepemimpinan penguasa orde baru, maka ada kalanya dari pemimpin pusat sampai kepala desa pada waktu itu disebut pemimpin otoriter. Jadi bukan mantan presiden saja sebagai pemimpin yang otoriter melainkan juga para kepala desa di masa orde baru menjadi otoriter.
Pada masa kepemimpinan yang otoriter, masyarakat desa Madobag justru lebih kuat dalam mengambil sikap gotong-royong, dengan cara mengikuti kehendak kepala desa walaupun melakukan sesuatu dengan cara bersama. Tetapi tidak diketahui apakah itu dari niat hati yang baik atau karena terpaksa saja. Banyak mantan pemimpin di desa Madobag dalam tiap organisasi masyarakat yang menyatakan bahwa pelaksanaan pembangunan lebih banyak keterlibatan masyarakat dan tidak melihat materi ( Dana). Tetapi sekarang dengan melalui program Pemerintah yaitu pelaksanaan pembangunan daerah pedesaan, maka pembangunan dilaksanakan dengan melibatkan organisasi masyarakat (OMS), justru pelaksanaan pembangunan tidak bersifat gotong royong, tetapi ukuran uang.
  1. Budaya dan Pembangunan
Desa Madobag merupakan salah satu daerah di Indonesia mempunyai kebudayaan yang unik dan sampai saat ini masih dipertahankan. Kebudayaan itu bisa dilihat dari segi penciptaan sesuatu yang bisa mengidentitaskan kekhasan Mentawai, seperti menjadi seorang Sikerei, berladang, beternak, membuat rumah dan sampan dengan memakai alat-alat yang sangat sederhana. Hal-hal yang dilakukan tersebut di atas akan menjadi sebuah hubungan harmonis antar sesama dan alam sekitarnya . Melakukan sesuatu tidak dengan sekehendak hati melainkan melakukan upacara kecil (ritual) sebagai symbol penghormatan kepada Tuhan Yang Maha Esa dan meminta izin agar tidak mendapat kendala dalam pelaksanaan aktivitas yang akan berlangsung.
Kesadaran terhadap lingkungan alam sangat tinggi karena landasan hukum alam yang diyakini sehingga menjadi sebuah aturan dalam setiap tindakan. Contohnya dalam kegiatan pembuatan ladang. Dalam mengelolah lahan, masyarakat tidak melakukan pembakaran atau penebangan secara besar-besaran. Tetapi pohon-pohon yang ada dalam lahan ditebang dengan dua cara. Pertama, dilakukan penebangan yang dimulai dari pohon-pohon kecil, sedangkan pohon-pohon yang besar dibiarkan atau dibuka kulit pangkalnya supaya mati perlahan-lahan. Daun-daun serta batang pohon dibiarkan membusuk untuk menjadi pupuk lahan. Kedua, Semua pohon besar dan kecil ditebang setelah itu dilakukan reboisasi dengan cara menanam durian atau tanaman tua sebagai tanaman pengganti pohon-pohon yang telah ditebang. Dalam melaksanakan pengolahan lahan, masyarakat Desa Madobag tetap melakukan upacara kecil dalam hal penebangan kayu yang besar, karena menurut masyarakat dipohon biasanya ada penghuninya dan ketika tidak dilakukan upacara kemungkinan besar orang yang menebang pohon akan mengalami kecelakaan. Dan apabila seseorang mengalami kematian yang tidak wajar, atau ditimpah pohon atau mati akibat parang dan kampak, masyarakat merasa resah karena jiwa yang bersangkutan akan bergentayangan menggangu orang atau justru mencari tumbal. Jika persolan ini terjadi, maka masyarakat atau pihak suku akan melakukan perbaikan hutan. Mereka mencari orang yang ahli dalam mengembalikan keharmonisan antara roh yang meninggal akibat kecelakaan di hutan dengan masyarakat serta alam disekitarnya.
Masyarakat juga memiliki inisiatif yang tinggi dalam perbaikan lingkungan alam. Banyak yang dilakukan untuk menjaga alam supaya tidak memakan korban jiwa. Seperti penanaman pohon baru dipinggir atau tepi sungai agar tanah yang ada dipinggir atau tepi sungai tidak terjadi erosi. Hal ini dilakukan supaya tidak terjadinya pelebaran pinggir sungai, dangkalnya sungai dan banyaknya pohon-pohon yang tumbang masuk ke dalam sungai sehingga menghambat arus transportasi melalui sungai. Masyarakat masih memakai jalur transportasi sungai, sedang jalur darat belum ada yang berhubungan dengan kecamatan dan daerah-daerah lain. Hanya di tingkat desa Madobag sendiri sudah dimulai pembangunan jalan tembus antar dusun melalui program pembangunan Desa (P2D) yang dilaksanakan oleh organisasi masyarakat setempat (OMS).
Dalam segi pembangunan sangat penting adanya suatu kebijakan pemerintahan desa (Perdes) untuk melaksanakan roda pemerintahan sehingga terbentuk ketransparanan terhadap masyarakat. Pembentukan kebijakan agar pelaksanaan sistem pemerintahan desa sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia dan azas otonomi daerah. Tetapi belum ada suatu kebijakan dari pemerintahan desa untuk mengelolah desa secara otonom. Pemerintahan desa masih berharap pembangunan yang diberikan oleh Pusat melalui pemerintahan daerah (top down). Pemerintahan desa harus melakukan musyawarah tingkat desa bersama Badan Permusyawaratan Desa (BPD) untuk merumuskan pembangunan serta kebijakan yang diharapkan oleh masyarakat desa Madobag. Masih banyak hal-hal yang perlu dilakukan pembenahan dalam pelaksanaan sistem pemerintahan desa Madobag, seperti pelaksanaan hubungan kerja dengan BPD, lembaga Adat, kepala dusun, pembentukan kebijakan pelaksanaan anggaran desa dan fungsi serta peran tokoh-tokoh masyarakat yang berkompeten. Hubungan kerja sama tersebut dijabarkan dalam Peraturan Desa. Maka dari situ akan muncul penetapan Peraturan Desa tentang pengelolaan APB Desa.
Dalam keterlibatan pembangunan lebih condong pada cara kesukuan. Dan ini merupakan kebiasaan masyarakat yang arahnya kesistem fedeoalisme. Contohnya dalam pembentukan OMS dan masyarakat akan melihat sukunya. Hal seperti ini dimaksud agar pengaturan dan pelaksanaan pembangunan lebih mudah diatur oleh anggota OMS. Tetapi dalam kenyataannya justru lebih cenderung terjadi perselihan karena ketidak sepahaman cara kerja melaksanakan pembangunan P2D. Dari situ dituntut kepala desa mengambil kebijakan yang harus tidak merugikan masyarakat itu sendiri dan pembangunan itu sendiri.
Munculnya pembangunan di desa Madobag disambut dengan gembira oleh masyarakat desa Madobag. Masyarakat merasa diperhatikan oleh pemerintah untuk memajukan daerah terpencil. Tetapi ada juga masyarakat yang tidak rela ketika pembuatan jalan dilaksanakan di atas tanah atau ladangnya dan melakukan penuntutan dengan meminta ganti rugi diluar kemampuan pelaksana pembangunan atau OMS dan pemerintah. Hal seperti ini bisa menghambat pembangunan, karena tingkat pemahaman di masyarakat tidak merata. Masyarakat juga tidak bisa dianggap salah karena bisa saja sosialisasi pembangunan yang tidak dilakukan oleh pihak pemerintahan desa, kecamatan ataupun kabupaten, sehingga masyarakat merasa haknya dilanggar begitu saja.
Harapan Pemerintah dalam pelaksanaan Pembangunan adalah supaya masyarakat betul-betul terlibat, merasa memiliki, dan masyarakat yang lebih tahu keadaan daerah, budaya dan adat–istiadatnya dalam melakukan pembangunan.
Kadang dalam pelaksanaan pembangunan motivasi masyarakat hanya pada anggaran dana pembangunan saja. Apalagi melalui OMS sehingga ada peluang masyarakat mengelolah dana pembangunan. Mentalitas yang seperti ini akan merugikan pemerintah dan masyarakat itu sendiri karena kualitas fisik bangunan tidak sesuai bestek yang ditentukan. Kalau Pemerintah tidak hati-hati, pembangunan itu sendiri bisa berdampak negatif. Maksudnya bahwa pembangunan akan merubah budaya masyarakat yang sifatnya kebersamaan, swadaya melalui gotong-royong menjadi budaya materialistik. Ketika tercipta budaya materialistik di masyarakat justru kedepan akan menjadi penghambat pelaksanaan pembangunan lain yang sifatnya tidak ada anggaran dana, seperti pelaksanaan pemberdayaan masyarakat oleh desa, BPD, para Sarjana atau Mahasiswa atau tokoh-tokoh masyarakat lainnya.
3. Hukum dan Adat
Berbicara tentang hukum dan adat adalah melihat satu konsep aturan, siapa yang diatur atau apa-apa saja di atur dan sanksi akibat pelanggaran aturan. Tidak ada satu pun definisi hukum yang tetap. Para ahli maupun sarjana hukum mendefinisikan hukum bermacam-macam, namun secara singkat hukum adalah suatu aturan yang mengatur tingkah laku manusia(individu antar individu, kelompok, organisasi dll) dan mempunyai sanksi yang tegas ketika dilanggar. Sedangkan hukum adat menurut Soepomo dan Hazairin adalah “hukum yang mengatur terutama tingkah laku manusia Indonesia dalam hubungan satu sama lain, baik yang merupakan keseluruhan kelaziman dan kebiasaan (kesusilaan) yang benar-benar hidup di masyarakat adat karena dianut dan dipertahankan oleh anggota-anggota masyarakat itu, maupun yang merupakan keseluruhan peraturan-peraturan yang mengenal sanksi atas pelanggaran dan yang ditetapkan dalam keputusan-keputusan para penguasa adat yaitu mereka yang mempunyai kewibawaan dan berkuasa member keputusan dalam masyarakat adat itu, ialah yang terdiri dari lurah, penghulu agama, pembantu lurah, wali tanah, kepala adat, hakim”.1
Seperti pengertian hukum dan hukum adat diatas, sama-sama mengatur tingkah laku manusia dengan tujuan agar keteraturan hidup dalam masyarakat lebih baik, tentram dan damai. Tetapi baik pengertian maupun pelaksanaan hukum di masyarakat pedesaan masih sangat sulit diungkapkan. Masyarakat tidak mengetahui apa itu hukum materil dan hukum formal. Tetapi kata hukum itu sendiri tidak asing kedengarannya di masyarakat, karena masyarakat memakai hukum adatnya, namun masyarakat tetap tidak masuk akal segala apa yang diatur oleh hukum (produk pemerintah) serta implikasinya, justru masyarakat lebih percaya pada pelaksanaan hukum adatnya. Bagi pandangan masyarakat desa hukum adalah adat yang mengatur segala tingkah laku manusia. Namun pandangan tentang hukum (produk pemerintah) hanyalah suatu hiasan hidup bagi orang-orang yang mempunyai kekuatan (power) untuk melakukan sesuatu aturan yang mengatur demi kepentingan kelompok atau individu. Oleh karena itu sekuat apapun hukum di Indonesia masyarakat belum tentu memahaminya, kecuali hukum adatnya.
Dari hal diatas bisa dirangkumkan bahwa, pertama masyarakat pedesaan tidak terpengaruh oleh hukum negara dalam segala aktivitasnya. Kedua, masyarakat pedesaan tidak mengetahui adanya suatu hukum yang dibuat oleh pemerintah tentang yang mengatur sesuatu. Ketiga, hukum hanyalah alat tindak terhadap masyarakat yang tidak mampu. Pemerintah sebagai pembentuk hukum belum mampu mensosialisasikannya kepada masyarakat dipelosok. Kalau di perhatikan secara seksama bahwa kelemahan hukum terletak pada fiksi hukum itu sendiri, yaitu anggapan bahwa masyarakat telah mengetahuinya ketika produk hukum disahkan. Tetapi pemerintah tidak memperhitungkan bahwa Negara Indonesia merupakan Negara kepulauan dan sekian jumlah rakyat tersebar dipelosok daerah belum tentu mengetahui apa yang dilakukan oleh pemerintah. Kemampuan desentralisasi dan dekonsentrasi pun sangat lemah dalam tindakan pendampingan mensosialisasikan hukum di pedesaan. Namun ketika terjadi pelanggaran hukum oleh masyarakat pedesaan, masyarakat akan diproses melalui hukum dan kemudian akan dihukum sesuai dengan pelanggaran Pasal dan ayat yang ada dalam KUHP tetapi tanpak disampaikan hak-haknya. Pada kenyataannya penyelesaian kasus di Mentawai secara umum masih belum dilaksanakan sesuai dengan KUHAP serta aturan pendukung lainnya, seperti UUD 1945 tentang hak asasi manusia, UU tentang anti kekerasan dan lain-lain.
Penduduk desa Madobag melaksanakan aktivitasnya sesuai dengan aturan adatnya. Secara garis besar aturan adat sudah mencakup aturan yang ada dalam KUHP hanya bedanya sistem penyidikan dan penyilidikan tidak dilakukan. Kemudian perbedaan lain adalah penjatuhan vonis terhadap pelanggar serta sanksi yang diberikan.
Dalam kehidupan sehari-hari penduduk desa tetap memakai adat-istiadat atau aturan adatnya, seperti pelaksanaan pesta pernikahan, pesta anak baru lahir, serta pakaian yang bersifat kedaerahan tetapi tidak mewah. Selain itu dalam adat yang dijaga adalah berbicara kepada ipar, adik ipar, mertua dan saudari perempuan. Begitu juga sebaliknya mereka ini tidak sembarangan bertindak diluar aturan adat, seperti tersenyum, berpenampilan dan lain-lain. Aturan adat-istiadat lainnya adalah menjaga bicara di hutan agar penghuni hutan tidak memberikan penyakit (kisei). Kisei terjadi akibat suatu pelanggaran yang tidak menghormati alam sehingga keseimbangan manusia dengan alam akan rusak dan alam marah dan menebarkan bencana. Rahasia alam ada pada diri manusia, bagaimana manusia itu sendiri mengetahuinya, tentu pada akibat perbuatannya. Tibulnya suatu aturan adat yang mengatur hubungan manusia dengan alam di Mentawai karena timbulnya akibat sehingga alam bertindak memberikan suatu kekuatan yang tidak disangka oleh manusia. Hal ini penduduk desa Madobag merasa trauma dan secara tidak langsung perbuatan yang mengakibatkan kesimbangan alam dengan manusia itu rusak tidak dilakukan lagi, justru menjadi suatu pantangan (taboo) bagi penduduk desa.
Dalam pelaksanaan sanksi hukum adat, tokoh adat atau tokoh masyarakat berperan sebagai pelaksana untuk menetapkan sanksi yang diberikan kepada pelanggar. Ada beberapa tingkatan sanksi yang berlaku di desa Madobag, yaitu, sanksi ganti rugi, sanksi pengasingan dari masyarakat umum, dan sanksi potong rotan (tippu sasa). Sanksi tippu sasa dilaksanakan ketika pelaku lebih dari satu orang, dan tidak ada yang mengaku, maka tippu sasa akan dilaksanakan atas kesepakatan terlebih dahulu. Sanksi ini sangat berbahaya karena menyangkut nyawa akan hilang ketika sipelaku tidak mengakui dan ikut serta dalam acara tippu sasa.
Sebenarnya aturan adat perlu perlindungan secara formal dari pemerintah. Karena aturan adatlah yang lebih dekat dan mudah sosialisasinya di tengah-tengah masyarakat. Aturan adat juga merupakan hukum positif yang kemudian difilter menjadi hukum Negara. Tidak cukup pernyataan yang dicantumkan dalam aturan universal, tetapi perlu diatur secara khusus kalau bukan Pemerintah, pemerintahan daerah pun harus memiliki perhatian terhadap adat dan aturannya. Hukum adat tidak akan pernah hilang, tetapi diperlukan penataan secara formal. Dimana masyarakat, di sana ada hukum adat (ubi socitietas, ibu ius).2 Ini suatu kenyataan umum di seluruh dunia. Masyarakat adalah sesuatu yang kontinu. Masyarakat berubah tetapi tidak dengan meninggalkan sekaligus nilai-nilai yang lama. Melainkan walaupun ada perubahan, masih juga hal-hal lama diteruskan.



FUNGSI DAN NILAI ALAM
  1. Perekonomian
Seperti yang kita ketahui bahwa alam adalah ciptaan Tuhan Yang Maha Esa untuk difungsikan dan dimanfaatkan oleh manusia sebaik-baiknya demi kesejahteraan umat manusia itu sendiri. Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pada Pasal 33, Negara juga mengklaim bahwa ; bumi, laut, udara serta kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara untuk kesejahteraan rakyat. Ketika kita ketahui keberadaan alam disekitar kita, keinginan untuk mengelolah dan memanfaatkannya muncul pada diri kita. Tetapi sebagai manusia keinginan itu lebih kuat dibanding kebutuhan yang selayaknya. Oleh karena itu untuk mengelolah alam secara teratur dan bermanfaat, maka Pemerintah membuat suatu aturan main seperti yang tercantum dalam aturan yang telah disampaikan di atas. Selain itu masih banyak aturan lain tentang pengelolaan alam yang dijabarkan secara hierarki dan harus ditaati oleh seluruh rakyat Indonesia.
Beranjak dari penciptaan dan pengaturan pengelolaan alam di atas, penduduk desa Madobag hanyalah sekelompok masyarakat yang jauh dari pedalaman dan masih membutuhkan perhatian Pemerintah untuk pembangunan daerah. Kebijakan tradisional di masyarakat dalam pengelolaan dan pemanfaatan alam sudah ada sejak masyarakat itu hidup di dalam lingkungannya. Pemanfaatan alam sudah diatur sendiri oleh penduduk desa itu sendiri, pertama, daerah perbukitan difungsikan untuk menanaman tanaman tua (durian, lansat, nangka, bambu, dll). Kedua, daerah rimba difungsikan berburuh untuk kebutuhan daging. Ketiga, daerah rawa difungsikan untuk menanam sagu, keladi, padi, membuat tambak ikan. Keempat, daerah dataran difungsikan sebagai tempat pemukiman dan menanam pisang. Kelima, daerah sungai difungsikan sebagai alur transportasi dan mencari ikan. Lima bentuk pengaturan di atas disebut sebagai kearifan lokal yang dibentuk secara tidak langsung oleh penduduk setempat.
Dalam memenuhi kebutuhannya penduduk desa mengelolah lahan untuk bercocok tanam, seperti nilam, coklat, pisang, kelapa, rotan, pinang dan kerajinan tangan lainnya yang mempunyai nilai ekonomis. Alam dianggap sangat penting dalam kehidupan penduduk desa karena memiliki sumber daya yang tinggi seperti obat-obatan, binatang-binatang yang menjadi buruhan untuk kebutuhan daging. Salah satu fungsi alam adalah tersedianya kebutuhan penduduk di dalammya seperti rotan, manau, enau hutan, udang di sungai. Kemudian adanya binatang seperti monyet yang secara tidak langsung menaburkan biji manau dihutan. Masyarakat pu memanfaatkan biji-biji manau untuk dijadikan bibit untuk ditanam dilahan. Berarti alam sendiri mampu mengatur kehidupan yang ada di dalamnya. Alam selalu hidup dan melakukan produksifitas untuk kebutuhan manusia sepanjang tidak dirusak oleh manusia. Oleh karena itu segalah bentuk dan hasil tersedia di alam dan dimanfaatkan oleh manusia untuk kesejahteraan. Nilai alam adalah sebagai akses penyedia, produktifitas dan sumber segala kehidupan yang dirasakan oleh penduduk desa Madobag dikelolah secara tradisional tanpa dengan alat-alat modern.

  1. Kesehatan Tradisional
Manusia hanyalah ciptaan yang mengandung unsur nyawa. Manusia bukanlah besi atau semacam robot yang mempunyai kekebalan tetapi tidak memiliki jiwa, roh, akal budi, inisiatif, dan perasaan atau rasa. Manusia merasa memiliki segalanya tetapi tidak memiliki kekebalan tubuh dan jiwa.
Berdasarkan di atas penduduk desa sejak dulu telah mengantisipasi dengan lahirnya Sikerei-sikerei sebagai pelaksana pengobatan di kampung. Penduduk yakin bahwa tubuh dipengaruhi oleh cuaca alam, makanan, pakaian atau hal-hal lain yang bersifat fisik sedangkan kondisi jiwa dipengaruhi oleh perasaan dan roh3, seperti perasaan sedih (belek baga) dan ketcat. Maka dengan dasar itu manusia mencari obat penawar di alam. Bagi penduduk desa Madobag mempunyai pandangan tersendiri mengenai kesehatan, yang penting jiwa tidak meninggalkan raganya dan hati atau perasaan merasa nyaman dan tenang. Jadi jiwa manusia tidak memiliki kekebalan terhadap situasi yang tidak memungkinkan. Ketika seseorang sakit Sikerei akan melakukan pengobatan atas dasar dipanggil oleh yang bersangkutan atau keluarga. Sikerei pun akan mencari obat di hutan dan memetik bunga-bunga, dedaunan, akar-akaran untuk dijadikan obat. Penduduk merasa yakin akan kemampuan sikerei karena terbukti sembuh. Tetapi untuk sekarang ini penduduk atau masyarakat memanfaatkan wadah pengobatan yang disiapkan oleh pemerintah. Cara yang digunakan adalah, ketika sakit mereka melakukan pengobatan tradisional.terlebh dahulu, tetapi kalau tidak ada perubahan mereka baru pergi kepuskesmas atau posyandu.
Disisi lain banyak para ahli memanfaatkan alam dengan cara melakukan penelitian untuk mencari dan menciptakan obat, kemudian mereka menyebarkannya ke masyarakat dengan nilai uang. Pemerintah pun bertindak sebagai pelaksana dalam konsep pelayanan kesehatan masyarakat. Tindakan pemerintah terbukti dengan menyebarkan orang-orang kesehatan di setiap daerah, terutama daerah terpencil, termasuk desa Madobag. Dalam hal ini ada satu konsep yang sangat penting untuk dilakukan, seperti melakukan kolaborasi antara pihak pemerintah (puskesmas) dengan pelaku pengobatan tradisional di kampung. Agar lebih terjalin kerja sama yang baik perlu suatu aturan PERDA sebagai landasan dalam melaksanakan program pelayanan kesehatan serta keterlibatan masyarakat tradisional dalam medis.
Selanjutnya untuk menjaga supaya tidak terjadinya pengklaiman medis tradisional oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab sangat perlu pemerintahan daerah membuat perlindungan obat tradisional Mentawai.



PENDIDIKAN
  1. Penduduk
Penduduk Desa Madobag kalau didata secara detail berjumlah lebih kurang 1600 jiwa. Tetapi hasil data pemilihan legislative tahun 2009 berjumlah 800 jiwa pemilih. Warga desa Madobag merupakan penduduk asli dan selain itu juga ada guru dan petugas kesehatan yang datang dari daerah lain, seperti etnis Minang, Nias dan dari daerah tetangga. Rata-rata penduduk desa Madobag tingkat pendidikan orang tua tidak sekolah, kemudian sebahgian kecil ada yang tamat sekolah dasar (SD). Tetapi sekarang generasi muda rata-rata tingkat pendidikannya sudah sampai SMP, SMA, dan ada juga sarjana walaupun tidak banyak.
  1. Orang hulu
Orang Hulu merupakan slogan untuk penduduk yang tinggal di hulu sungai Muara Siberut. Kata “orang Hulu” sering kita dengar ketika orang Sarereiket datang ke Muara Siberut Selatan dengan sampan dan didalam sampan berisi bahan-bahan makanan, seperti sagu, keladi, pisang, bambu dan lain-lain, dan melakukan interaksi dengan orang pendatang seperti Minang, Batak, Jawa, Nias. Orang Sarereiket pergi ke Muara Siberut mencari ikan, dan membeli kebutuhan sehari-hari dengan menjual hasil kebun atau pertanian mereka,
Kata orang hulu juga mempengaruhi mentalitas orang Sarereiket dan merasa asing berada di Muara Siberut. Generasi muda pun seperti anak SMP dan SMA dari Sarereiket tidak berani tampil dengan talenta yang dimilikinya karena rasa minder, atau tidak berani bertanya pada guru di kelas. Dalam hal ini secara tidak langsung para pendatang telah menguasai tempat atau titik strategis baik dalam segi ekonomi, kesehatan dan pendidikan karena biasanya pusat pembangunan di Mentawai lebih terfokus di Kecamatan.
Masyarakat yang tinggal di hulu sungai di wilayah Mentawai identik dengan ketidak majuan dalam segala apek pembangunan. Masih banyak daerah yang belum disentuh pembangunan yang layak. Pada masa orde baru hampir semua daerah yang berada di hulu Sungai tidak kebagian pembangunan, seakan-akan daerah seperti itu dibiarkan termajinal. Jarang program pemerintah untuk membangun masyarakat di daerah tersebut, walaupun program pembangunan daerah tertinggal itu pernah ada. Banyak alasan tidak masuknya pembangunan di sana seperti daerah desa Madobag terlalu jauh dari Kecamatan sehingga orang enggan masuk disana. Tetapi program desa tertinggal akhirnya di buktikan oleh Pemerintah, kira-kira tahun 1990 Departeman Sosial pernah melaksanakan pembangunan perumahan desa tertinggal. Para petugas DEPSOS ditempatkan di desa untuk mengontrol pelaksanaan pembangunan perumahan. Pada tahun 1997 masyarakat desa Madobag terpaksa berhadapan dengan para hakim Pengadilan Negeri di Padang dengan kasus perekayasaan luas tanah sosial yang diklaim oleh pihak petugas yang sebenarnya luas 36 hektar menjadi 360 hektar. Melalui Lembaga Bantuan Hukum di Padang Masyarakat menuntut pihak DEPSOS dan akhirnya dimenangkan oleh masyarakat Desa Madobag. Pada Masa orde baru tidak dipungkiri bahwa hak-hak masyarakat akan hilang oleh pembangunan. Tetapi bukannya masyarakat tidak ingin dibangunan tetapi pelaksanaan pembangunan mesti sesuai dengan nilai-nilai budaya dan Pancasila. Setiap pembangunan tidak mampu mengangkat harkat dan martabat masyarakat sehingga adakalanya masyarakat menolak pembangunan yang tidak layak mereka pandang dalam kehidupan mereka.
Di sisi lain pihak lembaga gereja pun tidak mampu berbuat apa-apa, padahal umat di desa Madobag hampir 100% dan umat selalu mengumpulkan uang pembangunan (suppit) setiap minggunya dan disetor ke Paroki tetapi dana itu dipergunakan tidak jelas. Sepertinya system otoriter orde baru hampir sama yang dilakukan oleh lembaga gereja tanpa ada pertimbangan sosial yang jelas. Masyarakat hanya mampu menjalankan system yang ada dan tidak bisa berbuat apa-apa. Gereja hanya symbol belaka tidak mampu mengangkat persoalan yang ada di umat/masyarakat. Gereja bersifat statis, kaku dan tidak toleran. Para pemimpin gereja di tingkat desa berpatokan pada aturan hierarki gereja dan aturan main Paroki. Sayangnya para pemimpin tersebut ikut kaku dalam berbagai persoalan di umat. Dalam meningkatkan pembangunan serta keterlibatan umat perlu ada beberapa kewenangan yang diberikan oleh lembaga gereja yang tertinggi kepada gereja-gereja di daerah, salah satunya adalah seperti kewenangan mengambil kebijakan pembangunan. Tetapi program pembangunan ditingkat lembaga Gereja tertinggi harus jelas, kalaupun ada, pihak Paroki juga mesti konsekuen.
Tahun1999 Kepulauan Mentawai menjadi sebuah Kabupaten otonom yang berdasarkan pada UU No. 49 Tahun 1999. Masa ini adalah suatu kesempatan bagi masyarakat Mentawai untuk mengekspresikan diri untuk terlibat dalam berbagai pembangunan dan merasakan pelayanan pemerintahan sendiri. Sebelum reformasi, desa Madobag dianggap banyak orang adalah “kolot”, tidak tahu kemajuan. Masih banyak orang di sana yang memakai cawat dan tidak memakai baju. Anggapan orang seperti ini tidak juga bisa disalahkan, karena memang kemajuan itu bisa dilihat dari segi kebudayaan, sosial dan daerah. Tetapi ukuran kemajuan itu belum tentu juga dimiliki oleh orang-orang yang berpandangan majemuk terhadap masyarakat di desa Madobag. Ada satu kalimat yang mengidentikan masyarakat desa Madobag kearah tidak maju, yaitu; “ orang hulu “. Orang hulu berarti sekelompok manusia yang tinggal dan hidup di hulu-hulu sungai, tidak pernah keluar, miskin, tertutup dan tidak mengenal kemajuan. Hal ini dilihat karena penampilan individu dan bentuk serta letak daerah yang jauh dari keramaian. Bagi masyarakat desa Madobag kekayaan dan kemajuan itu adalah melakukan peran hidupnya dengan merdeka tidak dipaksa. Kekayaan masyarakat Desa Madobag tidak diukur dari segi rumah yang mewah atau banyak uang, tetapi dengan memiliki ketenangan hidup tanpa ada yang mengintimidasi
  1. Kehidupan sehari-hari Masyarakat
Setiap manusia selalu beraktivitas untuk mencari nafkah dalam memenuhi kebutuhannya sehari-hari. Begitu juga kehidupan masyarakat desa Madobag yaitu berkebun, beternak, mengolah sagu untuk dikonsumsi. Masyarakat bekerja di ladang dari pagi sampai sore. Ladang yang dimiliki jauh dari perkampungan sehingga memakan banyak waktu berjalan menuju ladang. dalam satu ladang mencakup beragam tanaman, seperti durian, nangka, langsat, pisang, sagu dll. Jadi setiap pergi ke ladang bekerja, tanaman dibersihakan secara keseluruhan. Kadang masyarakat tinggal di ladang dengan menghuni pondok-pondok kecil yang telah dipersiapkan. Membawa semua anggota keluarga untuk tinggal di dekat ladang atau ternak. Lama mereka di sana sampai satu minggu dan malahan ada yang bertahun-tahun. Kadang-kadang mereka turun ke kampung hanya untuk hal-hal yang penting saja, seperti membeli kebutuhan-kebutuhan, rapat pemerintahan desa atau gotong royong, dan pemilihan umum.
Untuk kaum ibu-ibu, mereka membantu suami bekerja di ladang. Selain itu mereka juga mencari ikan disungai pada malam hari dengan cara pakai obor dan tangguk. Kalau siang hari yang mencari ikan adalah anak-anak perempuan bersama ibu mereka dengan memakai alat tangguk kecil.
Letak desa Madobag sangat dekat dengan hutan, masyarakat lebih cenderung kehutan atau memanfaatkan sumber daya hutan. Pada zaman pemerintahan orde baru masyarakat desa Madobag tidak banyak mengenal ekonomi. Pemanfaatan sumber daya hutan tertuju pada rotan dan manau. Rotan dijadikan tikar dan dijual di kecamatan dengan harga murah Rp. 5000,- sedangkan manau dijual perbatang dengan bermacam ukuran, juga murah. Kalau musim durian masyarakat cenderung menjual durian dengan sampan, mereka pergi ke kecamatan, tetapi tetap harga murah. Adapun pemanfaatan hasil jual oleh masyarakat digunakan kebutuhan sehari-hari seperti, korek api, minyak tanah, rokok, dan garam. Setelah belanja kembali lagi ke kampung dan melanjutkan pekerjaan yang ditinggalkan selama di Kecamatan. Bahan-bahan yang dibeli dibawa ke ladang untuk kebutuhan sehari-hari.
  1. UMA
Pengertian Uma terbagi dua, yaitu ; pertama, uma untuk sebutan marga, dan kedua, uma yang biasa disebut rumah adat. Uma untuk sebutan marga biasanya digunakan ketika dua orang bertemu yang beda marga dan menanyakan “apakah nama uma anda ?” Sedangkan pengertian kedua, uma merupakan sebutan rumah adat yang bentuknya besar dan memanjang. Uma Adalah kumpulan atau tempat orang-orang berinteraksi sosial.
Dalam kehidupan orang Mentawai khususnya penduduk desa Madobag, keberadaan Uma sangat penting. Uma mempunyai fungsi penting sebagai wadah terjadinya interaksi sosial, seperti, pendidikan, kebudayaan dan religius. Pendidikan di Uma dilakukan secara lisan melalui cara berceritera dan praktek langsung. Biasanya untuk memberikan ilmu kepada anak, saudara, atau family disaat melakukan aktivitas, seperti membuat rumah, sampan, berladang, beternak dan lain-lain. Sipendengar tidak langsung mengingatnya. Hal itu disadari juga oleh sipemberi ilmu. Maka sering terjadi berulang-ulang memberitahukan ilmu kepada sipendengar. Setalah sipendengar sudah menguasainya, ia pun menurunkannya kepada anak atau saudaranya yang lain. begitu seterusnya. Itu makanya di Mentawai sulit mencari bukti atau dokumen yang bersifat tulisan. Namun bentuk Uma diseluruh kepulauan Mentawai bermacam-macam motifnya.
Biasanya Uma dihuni banyak anggota klaen dan dikepalai seorang kepala suku. Kepala suku dipilih melalui musyawarah bersama. Untuk menjadi kepala suku ada beberapa syarat-syaratnya, seperti :
a. Bijaksana mengambil keputusan atau memberikan sanksi;
b. Memiliki banyak ternak (babi) yang dianggap cukup banyak;
c. Memiliki sebuah kemampuan tertentu;
d. Tidak sombing dan congkak;


POTENSI PARIWISATA
Potensi pariwisata dan daya tarik desa Madobag antara lain adalah kebudayaan. Kebudayaan sangat khas dimana penduduk mempunyai tradisi yang unik. Wisata budaya yang dapat dinikmati adalah kehidupan seharian penduduk dan Sikerei. Aktivitas seperti menyagu, berburuh, memancing, meramu racun panah, membuat cawat, tato, upacara adat, ritual pengobatan Sikerei yang merupakan daya tarik wisata di daerah desa Madobag. Kemudian belum lagi potensi alam yang dimilikinya, seperti air terjun Kulukubuk, Gua goiloggo, binatang serta burung endemic yang menjadi cirri khas alam desa Madobag.
AKSES WISATA
Pemerintah sudah mulai membuka jalan darat semua daerah, terutama di desa-desa. Salah satunya adalah Desa Madobag dimana tahun 2009 ini jalan antar dusun akan tembus oleh pembangunan P2D mandiri. Dengan adanya jalan beton, maka para wisatawan mudah mencapai air terjun Kulukubuk. Hanya kesulitannya adalah akses di luar desa tidak ada seperti fasilitas komunikasi untuk membuka atau mempromosikan daerah wisata. Biasanya turis masuk dibawa oleh pemandu dari Padang atau Bukit Tinggi dan masyarakat akan membantu dengan cara berburuh atau mengangkat barang-barang turis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar